KULON PROGO – Bupati Kulon Progo Agung Setyawan menyoroti beberapa persoalan tata ruang dan wilayah yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Keberadaan Bandara YIA, mengharuskan adanya konsekuensi yang harus dipenuhi karena rawan memunculkan konflik.
“Beberapa persoalan tata ruang di Kulon Progo, di antaranya kawasan Temon yang berada dalam radius 15 kilometer dari Bandara YIA atau kawasan Aerotropolis, serta kawasan pesisir selatan yang berpotensi menimbulkan konflik akibat pemanfaatan pasir besi,” kata Agung pada Forum Group Discussion di Aula Adikarta, Senin (27/10/2025).
Menurutnya, perlunya kehati-hatian dalam penerbitan sertifikat dan izin pemanfaatan tanah di kawasan tersebut. Pendampingan dan bimbingan sangat diperlukan agar setiap kebijakan daerah memiliki dasar hukum yang kuat.
Artikel Terkait
“Jangan sampai pembangunan justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial,” tutur Agung.
FGD ini mengusung tema “Penyusunan Kajian Teknis dan Hukum untuk Penetapan Tindakan/Sanksi Pelanggaran Pemanfaatan Ruang (TPPR)”.
Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, Sepyo Achanto mengatakan, FGD ini merupakan bagian dari tahapan penting terkait penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Hasil audit 2021 ada lima kategori pelanggaran di lima kalurahan dan empat kapanewon.
“Ini menjadi perhatian bersama agar masyarakat memahami pentingnya pemanfaatan tanah sesuai ketentuan tata ruang yang berlaku,” jelasnya.
Penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang bukan sekadar pemberian hukuman. Melainkan bentuk kepedulian pemerintah daerah untuk mewujudkan hukum yang adil, proporsional, dan berkepastian hukum.
“Sosialisasi mengenai pemanfaatan ruang terus dilakukan guna mencegah terjadinya pelanggaran di kemudian hari,” katanya.
Sementara itu, Direktur Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang, Agus Sutanto mengatakan, dari hasil evaluasi, hanya 13 persen daerah yang memiliki kinerja pengendalian tata ruang efektif. Sementara 87 persen lainnya masih belum optimal.
“Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” ujar Agus.
Lemahnya perencanaan tata ruang disebabkan ketidakjelasan batas dan syarat pemanfaatan lahan. Hal ini berdampak pada sulitnya proses penindakan di lapangan. Perlu aturan yang tegas yang fleksibel agar dapat menyesuaikan dengan dinamika pembangunan dan perkembangan zaman.
“Perlu pengendalian yang ketat pada kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan rawan bencana, kawasan resapan air, serta kawasan objek vital nasional seperti bandara,” katanya.
















